KORANHeadline.com, KENDARI – Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Sukdar-Partners and Law Firm, Abady Makmur, yang menjadi kuasa hukum perwira polisi di Kendari berinisial SNR dalam kasus dugaan pemalsuan tanda tangan Akta Jual Beli (AJB) angkat bicara.
Abady buka suara menanggapi terkait statment pelapor SW melalui kuasa hukumnya di sejumlah media. Abady menganggap apa yang disampaikan kuasa hukum terlapor melebih-lebihkan dan tak mengharagai proses hukum yang sedang berjalan dan tidak mengedepankan azas praduga tak bersalah.
Tentang pernyataan bahwa tanah seluas 700 meter persegi di Jln Anawai, Kelurahan Anawai, Kota Kendari yang jadi objek masalah tersebut dibeli hanya oleh SW pada tahun 2012.
Yang benar dan berdasarkan faktanya, kata Abady, bahwa pembelian tanah tersebut anatara SW dan kliennya saat ini masih dalam status suami istri, artinya pembelian tersebut adalah peran bersama dan menjadi hak bersama.
“Tapi kemudian dikatakan klien kami menguasai sertifikat itu karena SNR adalah oknum polisi, tentu hal tersebut adalah keliru, sebab namanya suami istri tentu kebendaan yang diperoleh selama perkawinan adalah menjadi harta benda bersama, bukan hanya harta SW,” terang Abady dalam keterangannya, Sabtu (3/8).
Selanjutnya dalam pernyataannya SW menyampaikan bahwa pada tahun 2018 SNR menjual tanah tersebut kepada seseoranf inisial RM di hadapan FS selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Dan penjualan itu disaksikan oleh saksi DW dan saksi AES. Belakangan SW mengaku bahwa dia tidak pernah bertemu dengan FS, RM, DW dan AES. Dan menuding bahwa tanda tangan SW dipalsukan oleh SNR.
Menanggapi pernyataan itu, tim kuasa hukum SNR lainnya, Muamar Lasipa, meminta agar SW dan kuasa hukumnya menimnang sebelum membuat pernyataan, dan harus mengedepankan azas praduga tak bersalah.
“SW kan didampingi kuasa hukumnya dalam menyampaikan pemberian tersebut, tolonglah gunakan asas praduga tak bersalah yakni setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan, jangan asal menyebut bahwa klien kamilah yang memalsukan tanda tangan tersebut,” ungkapnya.
“Pada dugaannya memang seakan-akan klien kami yang diduga memalsukan karena perannya sebagai penjual, namun yang berkomunikasi dengan PPAT adalah pembeli yakni RM dan istrinya, lalu kemudian dari merekalah AJB tersebut dibawakan kepada klien kami dan saksi-saksi, sehingga dalam dugaan ini tidak diketahui pasti siapa yang memalsukan tanda tangan SW,” tambahnya.
Dalam pernyataannya juga SW mengatakan bahwa tahan hasil pemalsuan tanda tangan tersebut dijual oleh SNR senilai Rp 35 juta, dan uang hasil penjualan itu dikuasai penuh SNR.
Terkait hal itu, kuasa hukum SNR menegaskan bahwa proses penjualan tanah tersebut memang terjadi namun kliennya mulai dari proses BAP klarifikasi sampai sebagai tersangka, tidak mengakui menirukan tanda tangan SW. SNR, kata dia, menolak ketika disedorkan oleh istri saksi RM.
“Logisnya bahwa PPAT sebagai pembuat akta punya kewajiban untuk menghadapkan semua pihak yang bertanda tangan dalam akta, sayangnya hal tersebut tidak dilakukan, hingga sampai saat ini klien kami tidak kenal PPAT yang digunakan pembeli yakni RM dan istrinya,” ujarnya.
“Lalu hasil penjualan yang menyudutkan klien kami bahwa seolah-olah menikmatinya sendiri, tentu adalah tidak dapat dipercaya, bagaimana demikian sebab pada tahun 2018 mereka ini antara SW dan klien kami belum bercerai, harga penjualan tersebut tentu diperuntukan untuk biaya rumah tangga,” lanjutnya.
Menariknya bahwa korban dan kuasanya dalam memberitakan terkesan grasa-grusu dalam memberikan pendapat hukum, katanya kliennya dilaporkan dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan, menyuruh meletakkan keterangan palsu di dalam AJB berdasarkan Pasal 266 KUHP dan Menggelapkan sertifikat dan hasil jual tanah berdasarkan Pasal 372 KUHP di Polresta Kendari pada tanggal 25 November 2022 lalu.
Terkait pernyataan itu, kuasa hukum SNR, Sukdar, memberikan pesan dan ultimatum kepada SW dan kuasa hukumnya.
“Kita ini advokat adalah penegak hukum, harus jujur dalam menyampaikan sesuai faktanya karena dapat merugikan subyektif orang lain dan membuat gaduh di masyarakat, karena dalam kasus ini klien kami dan SW sama-sama menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan sampai perkara P21 dikejaksaan,” katanya.
“Dan faktanya hanya disangkakan Pasal 263 KUHPidana tentang pemalsuan surat, tidak ada itu soal sangkaan Pasal 266 KUHpidana ataupun disangkakan Pasal 372 KUHPidana tentang penggelapan, pesan kami segera kuasa hukum korban membuat klarifikasi. Jangan dong lain yang gatal lain pula yang digaruk,” tegasnya.
Dia menambahkan bahwa SW selain telah bercerai dengan SNR pada tahun 2020, mereka juga telah membagi harta bersama melalui Putusan Pengadilan berdasarkan Putusan Mahkama Agung Nomor 331 K/Ag/2022 Tanggal 26 April 2022 Junto Putusan Pengadilan Tinggi Agama Kendari Nomor 23/Pdt.G/2021/PTA.Kdi Tanggal 14 September 2021 Junto Putusan Pengadilan Agama Kendari Nomor 170/Pdt.G/2021/PA.Kdi Tanggal 29 Juni 2021 dan telah berkekuatan hukum yang tetap (inkrahct Van Gewisjde) yang salah satu obyek yang perintahkan untuk dibagi adalah tanah seluas 720 M² SHM Nomor 00275 yang menjadi permasalahan dalam perkara ini.
“Artinya bahwa tanah yang dijual tersebut punya hak secara Bersama baik SW sebagai korban maupun SNR sebagai tersangka,” pungkasnya. (red/rls)